Pada jaman dahulu sebelah Selatan
Di atas pembaringannya sang raja terlihat cemas dan takut akan sesuatu. Di samping kanannya duduk putera sulungnya bernama GARISI. Perawakannya tingii, hitam dan angkuh serta suka meremehkan orang lain. Sedangkan samping kirinya yang bungsu yaitu NGAMO. Orangnya gemuk pendek dan sifatnya kasar dan suka mengamuk. Saat itu raja mencemaskan dirinya yang mungkin akan meninggal tanpa seorangpun dari puteranya yang bisa diandalkan untuk bisa menggantikannya. Keduanya tidak berbakat dan tidak cocok dengan keadaan rakyatnya. Napasnya sudah satu-satu namun raja tetap berusaha untuk menguatkan dirinya sampai ajal datang menjemput.
Keesokan harinya, seisi istana digemparkan oleh berita yang menyedihkan, raja yang mereka cintai telah wafat.Suasana duka berlangsung selama sebulan. Seluruh rakyatnya, di pelosok-pelosok sekalipun berbondong-bondong ke istana untuk penghormatan terakhir pada sang raja. Raja telah meninggalkan kerajaannya yang makmur dengan dua orang putera. Dan juga meninggalkan seekor kuda sembrani yang bernama LA MANGGE dan sebuah kapal pesiar kerajaan yaitu kapal TABA’A. Sebulan setelah wafatnya sang raja terjadi keributan di kalangan istana, antara Garisi dan Ngamo yang masing-masing berambisi untuk menjadi raja menggantikan ayahandanya.
Pertentangan keduanya memaksa para punggawa kerajaan untuk berpihak pada masing-masing figur. Perang tak dapat dielakkan lagi, maka ditetapkanlah aturan main dalam peperangan tersebut. Perang akan dilaksanakan pada siang hari saja sedangkan malamnya untuk merawat dan mengobati yang luka dan mengurusi tentara yang meninggal. Adapun lokasi peperangan di SO PARIA.
Keesokan harinya sebelum perang dimulai dengan pongahnya Garisi bersumpah “ apabila aku kalah dalam peperangan melawan Ngamo, maka kapal Taba’a ini akan terbalik dan lautan luas ini akan menjadi daratan”.Rupanya sumpahnya itu didengar oleh Shang Hyang dan terdengarlah suara petir sebanyak tiga kali berturut-turut.
Pada hari pertama, banyak pengikut Garisi meninggal. Melihat hal ini ia menjadi murka dan segera menghimpun pasukannya dan mengacaukan pasukan adiknya. Dengan menunggang la Mangge yang sakti itu dia mengobrak abrik pasukan musuhnya. Demikianlah perang memakan korban yang banyak dari kedua belah pihak dan berjalan selama sebulan namun belum ada tanda-tanda untuk berakhir.
Pasukan Ngamo sudah banyak yang menjadi mayat, ia tidak tinggal diam.Ia berusaha untuk mendekati kakaknya dan berusaha untuk merebut la Mangge. Pengikutnya sudah mulai kocar-kacir tapi Ngamo sendiri menyusup ke dalam pasukan kakaknya. Segera ia mndekati kakaknya dan secepat kilat menariknya dari atas kuda. Karena tarikannya begitu kuat, Garisi terpelanting ke belakang sedangkan Ngamo dengan buru-buru langsung naik ke atas punggung la Mangge. Namun sial baginya karena saat itu dilihat oleh pasukan Garisi yang langsung menghujani dengan anak panah. Hampir seluruh tubuhnya penuh dengan anak panah, darah berceceran di mana-mana.
Ngamo berusaha untuk menyelamatkan diri di sela-sela pasukan musuhnya. Saking buru-burunya cambuk sakti KARACI terjatuh dan secara ajaib membesar dan memanjang menghalangi pasukan Garisi. Dengan demikian selamatlah Ngamo dan pasukannya sampai ke seberang lautan. Mereka menuju ke Utara, di sebuah daerah yang subur masih dalam wilayah kerajaan Sakuru. Daerah itu diberi nama PUCUKE artinya ujung ( dari kata pucuk ), ujung dari segala penderitaan dan kesengsaraan. Adapun cambuk sakti Karaci lama kelamaan membentuk sebuah gunung ( doro ) yaitu DORO KARACI.
Di daerah yang baru mereka mulai kelihatan sibuk, ada yang membuat perkemahan, merawat yang sakit dan mencari umbi-umbian serta buah-buahan. Mereka segera mengobati pimpinannya. Dan sebulan kemudian kelihatanlah sebuah perkampungan yang kecil dan sederhana. Tiap hari mereka berlatih perang, memainkan tombak, pedang dan panah serta diperkuat dengan pasukan berkuda dan tilik sandi yang bertugas untuk mengintai keadaan musuh. Di tengah kegiatan tersebut Ngamo bersumpah “ apabila kita menang, maka saya akan menjadi raja yang baik dan bijaksana, tidak akan mengamuk dan semena-mena lagi. Kalau saya berdusta maka saya dan la Mangge akan menjadi batu yang menunggu daerah Pucuke ini”.
Dipetiklah berita dari pasukan tilik sandi bahwa setelah kemenangan itu, Garisi dan para pengikutnya mengadakan perayaan kemenangan selama 100 hari di atas puncak gunung Karaci sambil mabuk-mabukan. Mendengar laporan tersebut Ngamo mengadakan rapat dengan pasukannya. Hasil keputusan rapat tersebut adalah : akan diadakan serangan balasan pada malam yang ke 100 karena menurut perhitungan mereka malam itu merupakan acara puncaknya, di mana orang-orang lagi lengah. Sedangkan mereka sendiri mengadakan persiapan yang matang sambil menunggu waktu yang telah ditentukan.
Ketika hari yang ditunggu-tunggu itu tiba, terlihatlah sejumlah pasukan yang sedang mengarungi lautan menuju ke Selatan yaitu Gunung Karaci. Setibanya di pantai mereka menyebar ke segala penjuru sambil mendengar perintah penyerangan. Benar saja, malam itu Garisi dan pasukannya sedang berpesta pora tanpa menyadari bahwa mereka berada di bawah pengintaian musuh. Ngamo mencari tempat kakaknya, rupanya sedang bercengkerama dengan gadis-gadis sambil mengucapkan kata-kata yang tidak karuan.
Tiba-tiba terdengar suara perintah, serang…tanpa diperintah dua kali mereka menyerang, mencari lawan dengan senjata terhunus. Pasukan Garisi yang tidak menyadari akan hal itu karuan saja melawan.Tak ayal lagi malam itu juga seluruh pasukan Garisi mandi darah. Mayat bergelimpangan di mana-mana. Sementara Garisi sendiri hendak melarikan diri dengan gadis-gadisnya namun segera di hadang oleh Ngamo. Ngamo yang merasa diri di atas angin segera mengayunkan pedangnya. Sekali tebas, leher kakaknya sudah terpisah dengan tubuhnya. Malam itu merupakan malam terakhir bagi Garisi dan pasukan nya. Ngamo dan pasukannya bersuka cita atas kemenangan itu. Karena kecapekan maka pada malam itu mereka bermalam di atas gunung Karaci.
Keesokan harinya, pagi-pagi sekali mereka dibangunkan oleh suara angina topan dan gempa bumi. Mereka sibuk menyelamatkan diri mereka sendiri. Namun kejadian itu tidak berlangsung lama. Mereka melihat ke bawah
Ngamo merasa sedih. Diam-diam dengan menunggang la Mangge, ia bergerak kea rah Utara. Pucuke menjadi tujuannya. Sambil mengayunkan pedangnya ia membabat apa saja yang ditemuinya, mengamuklah ia sejadi-jadinya. Tak seorangpun yang berani mendekat karena takut akan sayatan pedang dan berujung kematian. Menangislah ia meratapi segala kejadian yang menimpanya sampai tertidur di bawah pohon, sementara la Mangge sibuk merumput. Sekali lagi terjadilah keanehan. Ngamo dan la Mangge menjadi batu. Rupanya Ngamo termakan oleh sumpahnya sendiri.
Demikianlah mitos tersebut, bila kita berkunjung ke daerah Sakuru sekarang ( daerah Kabupaten Bima bagian selatan, Kecamatan Monta ), kita akan melihat sebuah gunung yang mirip sekali dengan cambuk, Doro Karaci namanya. Di atas lerengnya ada sebuah batu yang terbelah menjadi dua bagian, itulah Garisi yang kepalanya terpenggal. Sedangkan di daerah Pucuke kita bisa melihat sebuah batu bulat dan agak jauh darinya sebuah batu yang mirip kuda, Ngamo dan La Mangge. Dan ke arah Barat sebelah selatannya Desa Waduwani kita bisa melihat sebuah bukit yang mirip sekali dengan sebuah kapal terbalik. Itulah Doro Taba’a yang hanya ditumbuhi rerumputan liar.
thanks ya...
BalasHapus